kami duduk berdua ditepi kelas.
memandang lurus kearah pohon yang bercabang dua.
disampingnya tergeletak sepeda tua yang usang berbalut kain putih di rongga rongga badannya.
kami bercerita tentang jalan yang berbeda.
tentang kebohongan manis yang terus dipertahankan.
sedikit demi sedikit air mata meluncur laju membasahi pipinya.
terisak ia menceritakan luka dari segilitir kata manis yang selalu dia dengar.
barulah sekarang ia berfikir tentang hubungan yang tak mungkin sejalan.
layaknya pohon yang berdiri tegak dihadapan kami, tertanam pada satu akar lalu tumbuh besar pada cabang yang berbeda.
lalu kami diam diantara ricuhnya teriakan anak anak. tak ada satupun dari kami yang sanggup berkata apalagi menemukan jalan keluar.
kami seperti sedang menunggu giliran untuk gugur dengan sendirinya, layaknya dedaunan didepan kami yang berguguran terhembus alunan angin.
kami tidak bisa untuk memberhentikan hubungan ini begitu saja. ini sudah terlalu melekat pekat.
tapi kami pun juga tidak bisa melanjutkan hubungan yang ujungnya hanyalah sebuah goretan abu abu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar